Nama Lamongan berasal dari kata “Lamong” bahasa Jawa Kuno menjadi
Lamongan, seperti Surabaya menjadi Surabayan, Madura menjadi Maduran,
Sawah menjadi Sawahan, Semarang menjadi Semarangan, Tuban menjadi
Tubanan dll. Lamong berarti gila, meraban, meracau, gila asmara,
tergesa-gesa, tipis, tembus pandang, cepat, (ekstrem kan artinya?)
menurut kamus bahasa Jawa. Lamong terdiri dari dua suku kata, yaitu “la”
dan “among” bahasa Sansekerta (Jawa Kuno) yaitu la = panjang, sulit ;
among = memelihara, menguasai, melindungi, membina, mengayomi. Tapi arti
sesungguhnya adalah “Sulit Dikuasai”.
Kata “Lamongan” banyak dipakai orang antara lain nama Plamongan di
Semarang, Kali Lamong dan desa Lamongrejo di Kecamatan Ngimbang, dan ada
Gunung Lamongan. Dengan penjelasan bahwa Gunung Lamongan ditempati
makam salah seorang Tumenggung Lamongan yang anti Belanda, juga
merupakan gunung berapi yang kawahnya selalu berpindah menjadi Ranu.
Sifat orang Lamongan mengutamakan kebersamaan, suka berjuang, ulet
berkerja, agamis, terbuka, halus, perasaan, jujur, penuh tanggung jawab,
dan petualang (bangga kan jadi orang Lamongan?). Namun, kadang kala
kaku dan kasar bila tidak diajak musyawarah, suka merantau, berani
membela sebuah kejujuran, tidak garang, dan suka membantu (ehem). Bahasa
orang Lamongan adalah bahasa pesisir yang lugas penuh dialek Osing,
Madura, Jawa Ngoko, diwarnai budaya Arek atau Bocah (Singosari atau
Majapahit).
Tahun 1543M, dimulailah Pemerintahan Islam yang direstui Sunan
Giri III, oleh Sultan Trenggono ditunjuklah R.Abu Amin untuk memimpin
Karanggan Kali Segunting, yang wilayahnya diapit kali Lamong dan kali
Solo. Wilayah utara kali Solo menjadi wilayah Tuban, perdikan Drajat,
Sidayu, sedang wilayah selatan kali Lamong masih menjadi wilayah Japanan
dan Jombang. Tahun 1556 M R.Abu Amin wafat digantikan oleh R.Hadi yang
masih paman Sunan Giri III sebagai Rangga Hadi 1556 -1569M Tepat hari
Kamis pahing 10 Dzulhijjah 976H atau bertepatan 26 mei 1569M, Rangga
Hadi dilantik menjadi Tumenggung Lamong bergelar Tumenggung Surajaya (
Soerodjojo) hingga tahun 1607 dan dimakamkan di Kelurahan Tumenggungan
kecamatan Lamongan dikenal dengan Makam Mbah Lamong. Tanggal tersebut
dipakai sebagai Hari Jadi Lamongan.
Setelah Indonesia Merdeka 17 Agustus 1945, daerah Lamongan menjadi
daerah garis depan melawan tentara pendudukan Belanda, perencanaan
serangan 10 Nopember Surabaya juga dilakukan Bung Tomo dengan
mengunjungi dulu Kyai Lamongan dengan pekikan khas pembakar semangat
Allahu Akbar. Lamongan yang dulunya daerah miskin dan langganan banjir,
berangsur-angsur bangkit menjadi daerah makmur dan menjadi rujukan
daerah lain dalam pengentasan banjir. Dulu ada pameo “ Wong Lamongan nek
rendeng gak iso ndodok, nek ketigo gak iso cewok “ tapi kini diatasi
dengan semboyan dari Sunan Drajat, Derajate para Sunan dan Kyai “ Memayu
Raharjaning Praja “ yang benar –benar dilakukan dengan perubahan
mendasar, dalam memsejahterahkan rakyatnya masih memegang budaya
kebersamaan saling membantu sesuai pesan kanjeng Sunan Drajat “ Menehono
mangan marang wong kangluwe, menehono paying marang wong kang kudanan ,
menehono teken marang wong kang wutho, menehono busaono marang wong
kang wudho “.
Kabupaten Lamongan yang kini dikomandani H.Masfuk sebagai Bupati
periode ke 2 dan H.Tsalis Fahmi sebagai wakil Bupati melejit bagaikan
Sulapan , dengan terobosannya yang menjadi perbincangan Nasional. Yang
menonjol selama ini menjadi Ikon Wisata Bahari Lamongan (Lamongan Ocean
Tourism Ressort) , Lamongan Integrated Sharebased, Proyek Pelabuhan
Rakyat, dan Proyek Lapangan Terbang dan Eksplorasi minyak Balong Wangi
Sarirejo,memungkinkan datangnya investasi baik dari dalam negeri maupun
investor luar negeri. Dengan tangan dinginnya PKL ditata rapi, Kelancara
jalan desa dan pengairan ditata sedemikian rupa, termasuk memberikan
Bea siswa bagi siswa dan mahasiswa berprestasi yang ekonominya kurang
beruntung, dan nantinya jika telah menyelesaikan studynya bisa kembali
dan menyumbangkan pikiran dan kemampuannya demi kemajuan Lamongan.
Kegiatan HJL kali ini juga dumeriahkan oleh Dewan Kesenian Lamongan
(DKL) parade Teater dan Pameran Senirupa kerja sama dengan STKW Surabaya
di gedung Handayani tanggal 26 mei dilanjutkan Sarasehan seni rupa oleh
Agus Koecing Surabaya , mengusung Peran dan perkembangan senirupa jawa
timur dan Management berkesenian , 27 mei 2007.
Sejarah Lamongan : Hari Jadi Lamongan
” DENGAN RACHMAD ALLAH TUHAN YANG MAHA ESA.
RAKYAT DAN PEMERINTAH DERAH TINGKAT II LAMONGAN TELAH BERHASIL
MENEMUKAN HARI JADI LAMONGAN, YAITU PADA HARI KAMIS PAHING TANGGAL 10
DZULHIJAH TAHUN 976 HIJRIYAH, ATAU HARI KAMIS PAHING TANGGAL 26 MEI 1569
MASEHI. “
BAHWA SESUNGGUHNYA HARI JADI ATAU HARI KELAHIRAN LAMONGAN TERSEBUT
DIAMBIL DAN DITETAPKAN DARI HARI DAN TANGGAL DIWISUDANYA ADIPATI
LAMONGAN YANG PERTAMA, YAITU TUMENGGUNG SURAJAYA.”
Waktu mudanya bernama Hadi, karena mendapatkan pangkat rangga, maka
ia lalu disebut Ranggahadi. Ranggahadi kemudian juga bernama mBah
Lamong, yaitu sebutan yang diberikan oleh rakyat daerah ini.
Karena Ranggahadi pandai Ngemong Rakyat, pandai membina daerah dan
mahir menyebarkan ajaran agama Islam serta dicintai oleh seluruh
rakyatnya, dari asal kata mbah Lamong inilah kawasan ini lalu disebut
Lamongan.Adapun yang mewisuda Tumenggung Surajaya menjadi Adipati
Lamongan yang pertama, tidak lain adalah Kanjeng Sunan Giri IV yang
bergelar Sunan Prapen. Wisuda tersebut bertepatan dengan hari pasamuan
agung yang diselenggarakan di Puri Kasunanan Giri di Gresik, yang
dihadiri oleh para pembesar yang sudah masuk agama Islam dan para
Sentana Agung Kasunanan Giri. Pelaksanaan Pasamuan Agung tersebut
bertepatan dengan peringatan Hari Besar Islam yaitu Idhul Adha tanggal
10 Dzulhijjah.
Berbeda dengan daerah-daerah Kabupaten lain khususnya di Jawa Timur
yang kebanyakan mengambil sumber dari sesuatu prasasti, atau dari suatu
Candi dan dari peninggalan sejarah yang lain, tetapi hari lahir
lamongan mengambil sumber dari buku wasiat. Silsilah Kanjeng Sunan Giri
yang ditulis tangan dalam huruf Jawa Kuno/Lama yang disimpan oleh Juru
Kunci Makam Giri di Gresik. Almarhum Bapak Muhammad Baddawi di dalam
buku tersebut ditulis, bahwa diwisudanya Tumenggung Surajaya menjadi
Adipati Lamongan dilakukan dalam pasamuan agung di Tahun 976 H. Yang
ditulis dalam buku wasiat tersebut memang hanya tahunnya saja, sedangkan
tanggal, hari dan bulannya tidak dituliskan.
Oleh karena itu, maka Panitia Khusus Penggali Hari Jadi Lamongan
mencari pembuktian sebagai dasar yang kuat guna mencari dan menetapkan
tanggal, hari dan bulannya. Setelah Panitia menelusuri buku sejarah,
terutama yang bersangkutan dengan Kasunanan Giri, serta Sejarah para
wali dan adat istiadat di waktu itu, akhirnya Panitia menemukan bukti,
bahwa adat atau tradisi kuno yang berlaku di zaman Kasunanan Giri dan
Kerajaan Islam di Jawa waktu itu, selalu melaksanakan pasamuan agung
yang utama dengan memanggil menghadap para Adipati, Tumenggung serta
para pembesar lainnya yang sudah memeluk agama Islam. Pasamuan Agung
tersebut dilaksanakan bersamaan dengan Hari Peringatan Islam tanggal 10
Dzulhijjah yang disebut Garebeg Besar atau Idhul Adha.
Berdasarkan adat yang berlaku pada saat itu, maka Panitia
menetapkan wisuda Tumenggung Surajaya menjadi Adipati Lamongan yang
pertama dilakukan dalam pasamuan agung Garebeg Besar pada tanggal 10
Dzulhijjah Tahun 976 Hijriyah. Selanjutnya Panitia menelusuri jalannya
tarikh hijriyah dipadukan dengan jalannya tarikh masehi, dengan
berpedoman tanggal 1 Muharam Tahun 1 Hijriyah jatuh pada tanggal 16 Juni
622 Masehi, akhirnya Panitia Menemukan bahwa tanggal 10 Dzulhijjah 976
H., itu jatuh pada Hari Kamis Pahing tanggal 26 Mei 1569 M.
Dengan demikian jelas bahwa perkembangan daerah Lamongan sampai
akhirnya menjadi wilayah Kabupaten Lamongan, sepenuhnya berlangsung di
jaman keislaman dengan Kasultanan Pajang sebagai pusat pemerintahan.
Tetapi yang bertindak meningkatkan Kranggan Lamongan menjadi Kabupaten
Lamongan serta yang mengangkat/mewisuda Surajaya menjadi Adipati
Lamongan yang pertama bukanlah Sultan Pajang, melainkan Kanjeng Sunan
Giri IV. Hal itu disebabkan Kanjeng Sunan Giri prihatin terhadap
Kasultanan Pajang yang selalu resah dan situasi pemerintahan yang kurang
mantap. Disamping itu Kanjeng Sunan Giri juga merasa prihatin dengan
adanya ancaman dan ulah para pedagang asing dari Eropa yaitu orang
Portugis yang ingin menguasai Nusantara khususnya Pulau Jawa.
Siapakah sebenarnya Tumenggung Surajaya itu ? didepan sudah
diungkapkan nama kecil Tumenggung Surajaya adalah Hadi yang berasal dari
dusun Cancing yang sekarang termasuk wilayah Desa Sendangrejo Kecamatan
Ngimbang Kabupaten Lamongan. Sejak masih muda Hadi sudah nyuwito di
Kasunanan Giri dan menjadi seorang santri yang dikasihi oleh Kanjeng
Sunan Giri karena sifatnya yang baik, pemuda yang trampil, cakap dan
cepat menguasai ajaran agama Islam serta seluk beluk pemerintahan.
Disebabkan pertimbangan itu akhirnya Sunan Giri menunjuk Hadi untuk
melaksanakan perintah menyebarkan Agama Islam dan sekaligus mengatur
pemerintahan dan kehidupan Rakyat di Kawasan yang terletak di sebelah
barat Kasunanan Giri yang bernama Kenduruan. Untuk melaksanakan tugas
berat tersebut Sunan Giri memberikan Pangkat Rangga kepada
Hadi.Ringkasnya sejarah, Rangga Hadi dengan segenap pengikutnya dengan
naik perahu melalui Kali Lamong, akhirnya dapat menemukan tempat yang
bernama Kenduruan itu. Adapu kawasan yang disebut Kenduruan tersebut
sampai sekarang masih ada dan tetap bernama Kenduruan, berstatus Kampung
di Kelurahan Sidokumpul wilayah Kecamatan Lamongan.
Di daerah baru tersebut ternyata semua usaha dan rencana Rangga
Hadi dapat berjalan dengan mudah dan lancar, terutama di dalam usaha
menyebarkan Agama Islam,mengatur pemerintahan dan kehidupan masyarakat.
Pesantren untuk menyebar Agama Islam peninggalan Rangga Hadi sampai
sekarang masih ada.
Sejarah Lamongan : Sunan Drajad
Di antara para wali, mungkin Sunan Drajat yang punya nama paling
banyak. Semasa muda ia dikenal sebagai Raden Qasim, Qosim, atau Kasim.
Masih banyak nama lain yang disandangnya di berbagai naskah kuno.
Misalnya Sunan Mahmud, Sunan Mayang Madu, Sunan Muryapada, Raden Imam,
Maulana Hasyim, Syekh Masakeh, Pangeran Syarifuddin, Pangeran Kadrajat,
dan Masaikh Munat.
Dia adalah putra Sunan Ampel dari perkawinan dengan Nyi Ageng
Manila, alias Dewi Condrowati. Empat putra Sunan Ampel lainnya adalah
Sunan Bonang, Siti Muntosiyah, yang dinikahi Sunan Giri, Nyi Ageng
Maloka, yang diperistri Raden Patah, dan seorang putri yang disunting
Sunan Kalijaga. Akan halnya Sunan Drajat sendiri tak banyak naskah yang
mengungkapkan jejaknya.
ada diceritakan, Raden Qasim menghabiskan masa kanak dan remajanya
di kampung halamannya di Ampeldenta, Surabaya. Setelah dewasa, ia
diperintahkan ayahnya, Sunan Ampel, untuk berdakwah di pesisir barat
Gresik. Perjalanan ke Gresik ini merangkumkan sebuah cerita, yang kelak
berkembang menjadi legenda.
Syahdan, berlayarlah Raden Qasim dari Surabaya, dengan menumpang
biduk nelayan. Di tengah perjalanan, perahunya terseret badai, dan pecah
dihantam ombak di daerah Lamongan, sebelah barat Gresik. Raden Qasim
selamat dengan berpegangan pada dayung perahu. Kemudian, ia ditolong
ikan cucut dan ikan talang –ada juga yang menyebut ikan cakalang.
Dengan menunggang kedua ikan itu, Raden Qasim berhasil mendarat di
sebuah tempat yang kemudian dikenal sebagai Kampung Jelak, Banjarwati.
Menurut tarikh, peristiwa ini terjadi pada sekitar 1485 Masehi. Di sana,
Raden Qasim disambut baik oleh tetua kampung bernama Mbah Mayang Madu
dan Mbah Banjar.
Konon, kedua tokoh itu sudah diislamkan oleh pendakwah asal
Surabaya, yang juga terdampar di sana beberapa tahun sebelumnya. Raden
Qasim kemudian menetap di Jelak, dan menikah dengan Kemuning, putri Mbah
Mayang Madu. Di Jelak, Raden Qasim mendirikan sebuah surau, dan
akhirnya menjadi pesantren tempat mengaji ratusan penduduk.
Jelak, yang semula cuma dusun kecil dan terpencil, lambat laun
berkembang menjadi kampung besar yang ramai. Namanya berubah menjadi
Banjaranyar. Selang tiga tahun, Raden Qasim pindah ke selatan, sekitar
satu kilometer dari Jelak, ke tempat yang lebih tinggi dan terbebas dari
banjir pada musim hujan. Tempat itu dinamai Desa Drajat.
Namun, Raden Qasim, yang mulai dipanggil Sunan Drajat oleh para
pengikutnya, masih menganggap tempat itu belum strategis sebagai pusat
dakwah Islam. Sunan lantas diberi izin oleh Sultan Demak, penguasa
Lamongan kala itu, untuk membuka lahan baru di daerah perbukitan di
selatan. Lahan berupa hutan belantara itu dikenal penduduk sebagai
daerah angker.
Menurut sahibul kisah, banyak makhluk halus yang marah akibat
pembukaan lahan itu. Mereka menteror penduduk pada malam hari, dan
menyebarkan penyakit. Namun, berkat kesaktiannya, Sunan Drajat mampu
mengatasi.Setelah pembukaan lahan rampung, Sunan Drajat bersama para
pengikutnya membangun permukiman baru, seluas sekitar sembilan hektare.
Atas petunjuk Sunan Giri, lewat mimpi, Sunan Drajat menempati sisi
perbukitan selatan, yang kini menjadi kompleks pemakaman, dan dinamai
Ndalem Duwur. Sunan mendirikan masjid agak jauh di barat tempat
tinggalnya. Masjid itulah yang menjadi tempat berdakwah menyampaikan
ajaran Islam kepada penduduk.
Sunan menghabiskan sisa hidupnya di Ndalem Duwur, hingga wafat pada
1522.Di tempat itu kini dibangun sebuah museum tempat menyimpan
barang-barang peninggalan Sunan Drajat –termasuk dayung perahu yang dulu
pernah menyelamatkannya. Sedangkan lahan bekas tempat tinggal Sunan
kini dibiarkan kosong, dan dikeramatkan.
Sunan Drajat terkenal akan kearifan dan kedermawanannya. Ia
menurunkan kepada para pengikutnya kaidah tak saling menyakiti, baik
melalui perkataan maupun perbuatan. ”Bapang den simpangi, ana catur
mungkur,” demikian petuahnya. Maksudnya: “jangan mendengarkan
pembicaraan yang menjelek-jelekkan orang lain, apalagi melakukan
perbuatan itu.”
Sunan memperkenalkan Islam melalui konsep dakwah bil-hikmah, dengan
cara-cara bijak, tanpa memaksa. Dalam menyampaikan ajarannya, Sunan
menempuh lima cara. Pertama, lewat pengajian secara langsung di masjid
atau langgar. Kedua, melalui penyelenggaraan pendidikan di pesantren.
Selanjutnya, ketiga, memberi fatwa atau petuah dalam menyelesaikan suatu
masalah.
Cara keempat, melalui kesenian tradisional. Sunan Drajat kerap
berdakwah lewat tembang pangkur dengan iringan gending. Terakhir, ia
juga menyampaikan ajaran agama melalui ritual adat tradisional,
sepanjang tidak bertentangan dengan ajaran Islam.
Empat pokok ajaran Sunan Drajat adalah: Paring teken marang kang
kalunyon lan wuta; paring pangan marang kang kaliren; paring sandang
marang kang kawudan; paring payung kang kodanan. Artinya: berikan
tongkat kepada orang buta; berikan makan kepada yang kelaparan; berikan
pakaian kepada yang telanjang; dan berikan payung kepada yang kehujanan.
”Berhentilah bekerja, jangan lupa salat,” katanya dengan nada
membujuk.Ia selalu menelateni warga yang sakit, dengan mengobatinya
menggunakan ramuan tradisional, dan doa. Sebagaimana para wali yang
lain, Sunan Drajat terkenal dengan kesaktiannya. Sumur Lengsanga (leng
sanga artinya lubang sembilan –webmaster) di kawasan Sumenggah,
misalnya, diciptakan Sunan ketika ia merasa kelelahan dalam suatu
perjalanan.
Ketika itu, Sunan meminta pengikutnya mencabut wilus, sejenis umbi
hutan. Ketika Sunan kehausan, ia berdoa. Maka, dari sembilan lubang
bekas umbi itu memancar air bening –yang kemudian menjadi sumur abadi.
Dalam beberapa naskah, Sunan Drajat disebut-sebut menikahi tiga
perempuan. Setelah menikah dengan Kemuning, ketika menetap di Desa
Drajat, Sunan mengawini Retnayu Condrosekar, putri Adipati Kediri, Raden
Suryadilaga.
Peristiwa itu diperkirakan terjadi pada 1465 Masehi. Menurut Babad
Tjerbon, istri pertama Sunan Drajat adalah Dewi Sufiyah, putri Sunan
Gunung Jati. Alkisah, sebelum sampai di Lamongan, Raden Qasim sempat
dikirim ayahnya berguru mengaji kepada Sunan Gunung Jati. Padahal,
Syarif Hidayatullah itu bekas murid Sunan Ampel.
Di kalangan ulama di Pulau Jawa, bahkan hingga kini, memang ada
tradisi ‘’saling memuridkan”. Dalam Babad Tjerbon diceritakan, setelah
menikahi Dewi Sufiyah, Raden Qasim tinggal di Kadrajat. Ia pun biasa
dipanggil dengan sebutan Pangeran Kadrajat, atau Pangeran Drajat. Ada
juga yang menyebutnya Syekh Syarifuddin.
Bekas padepokan Pangeran Drajat kini menjadi kompleks perkuburan,
lengkap dengan cungkup makam petilasan, terletak di Kelurahan Drajat,
Kecamatan Kesambi. Di sana dibangun sebuah masjid besar yang diberi nama
Masjid Nur Drajat. Naskah Badu Wanar dan Naskah Drajat mengisahkan
bahwa dari pernikahannya dengan Dewi Sufiyah, Sunan Drajat dikaruniai
tiga putra.
Anak tertua bernama Pangeran Rekyana, atau Pangeran Tranggana.
Kedua Pangeran Sandi, dan anak ketiga Dewi Wuryan. Ada pula kisah yang
menyebutkan bahwa Sunan Drajat pernah menikah dengan Nyai Manten di
Cirebon, dan dikaruniai empat putra. Namun, kisah ini agak kabur, tanpa
meninggalkan jejak yang meyakinkan.
Wewarah pengentasan kemiskinan Sunan Drajat kini terabadikan dalam
sap tangga ke tujuh dari tataran komplek Makam Sunan Drajat. Secara
lengkap makna filosofis ke tujuh sap tangga tersebut sebagai berikut :
1. Memangun resep teyasing Sasomo (kita selalu membuat senang hati orang lain)
2. Jroning suko kudu eling Ian waspodo (didalam suasana riang kita harus tetap ingat dan waspada)
3. Laksitaning subroto tan nyipto marang pringgo bayaning lampah
(dalam perjalanan untuk mencapai cita – cita luhur kita tidak peduli
dengan segala bentuk rintangan)
4. Meper Hardaning Pancadriya (kita harus selalu menekan gelora nafsu – nafsu)
5. Heneng – Hening – Henung (dalam keadaan diam kita akan
memperoleh keheningan dan dalam keadaan hening itulah kita akan
mencapai cita – cita luhur).
6. Mulyo guno Panca Waktu (suatu kebahagiaan lahir bathin hanya bisa kita capai dengan sholat lima waktu)
7. Menehono teken marang wong kang wuto, Menehono mangan marang
wong kang luwe, Menehono busono marang wong kang wudo, Menehono ngiyup
marang wongkang kodanan (Berilah ilmu agar orang menjadi pandai,
Sejahterakanlah kehidupan masyarakat yang miskin, Ajarilah kesusilaan
pada orang yang tidak punya malu, serta beri perlindungan orang yang
menderita).
Sejarah Lamongan : Panji Laras-Liris
Tradisi Perempuan Meminang Laki-Laki di Lamongan
Panji Laras Liris Bertujuan Syiar Islam
Meski sudah mulai ditinggalkan, sebagian warga Lamongan masih
memegang tradisi perempuan yang harus meminang (melamar) laki-laki.
Tradisi itu diduga kuat berhubungan dengan sejarah leluhur Lamongan
bernama Panji Laras Liris.
Tradisi perempuan yang melamar laki-laki sebelum melangsungkan
pernikahan sudah cukup lama berlangsung di Lamongan. Tradisi itu dinilai
tidak lazim, karena bertolak belakang dengan tradisi yang umum terjadi,
yakni kaum laki-laki yang umumnya justru yang harus melamar kaum
perempuan.
Tradisi yang tidak diketahui mulai diberlakukan sejak kapan tersebut diduga kuat
ada hubungannya dengan sejarah salah satu leluhur Kabupaten
Lamongan bernama Mbah Sabilan dalam riwayat Panji Laras Liris. “Riwayat
Panji Laras-Liris tersebut selalu diceritakan setiap acara ziarah ke
malam Mbah Sabilan untuk memperingati Hari jadi Lamongan,” kata kabid
seni budaya Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Lamongan, Suyari.
Dalam riwayat Panji Laras Liris tersebut diungkapkan, sekitar tahun
1640 – 1665 Kabupaten Lamongan dipimpin bupati ketiga bernama Raden
Panji Puspa Kusuma dengan gelar Kanjeng Gusti Adipati.
Bupati tersebut mempunyai dua putra bernama Panji Laras dan Panji
Liris yang terkenal rupawan. Ketampanan kedua pemuda Lamongan tersebut
membuat jatuh hati dua putri Adipati Wirasaba (wilayahnya sekitar
Kertosono Nganjuk) bernama Dewi Andanwangi dan Dewi Andansari.
Karena terus didesak putrinya, meski dengan berat hati (karena
pihak perempuan harus melamar ke pihak laki-laki) Adipati Wirasaba
menuruti keinginan putrinya dengan meminang Panji Laras dan Panji Liris
di Lamongan. “Saat itu warga Wirasaba masih belum memeluk Islam,
sedangkan di Lamongan Islam sudah sangat mengakar,” ungkap Yari.
Menyikapi kondisi itu, Panji Laras dan Liris minta hadiah berupa
dua genuk (tempat air) dari batu dan dua tikar dari batu. Benda-benda
tersebut harus dibawa sendiri oleh Dewi Andansari dan Andanwangi.
“Hadiah itu sebenarnya mengandung isyarat agar dewi andansari dan
andanwangi mau masuk Islam. Sebab genuk mengandung isyarat tempat untuk
wudlu dan tikar untuk sholat. Kedua benda tersebut saat ini tersimpan di
Masjid Agung Lamongan,” ungkap Yari.
Permintaan itu dinilai sangat berat oleh Adipati Wirasaba. Meski
begitu tetap dijanjikan akan dipenuhi. Selanjutnya benda-benda itu
dibawa sendiri oleh kedua perempuan itu ke Lamongan dengan pengawalan
satu pasukan prajurit dengan naik perahu menyusuri Kali Lamong.
Kedatangan Dewi Andansari dan Andanwangi disambut Panji Laras Liris
di pinggir Kali Lamongan yang saat ini masuk wilayah Kecamatan Mantup.
Kedua pemuda tersebut juga dikawal pasukan prajurit dari Lamongan
dipimpin patih Mbah Sabilan.
Ketika akan turun dari perahu tanpa sadar kain panjang dewi
Andansari dan Andanwangi tersingkap dan kelihatan betisnya. Melihat
betis kedua perempuan itu Panji Laras-Liris terbelalak dan ketakutan.
Sebab betis kedua perempuan itu penuh dengan bulu lebat yang menakutkan.
Spontan Panji laras Liris lari meninggalkan kedua perempuan itu.
Sikap kedua pemuda tersebut dinilai sebagai penghinaan oleh
prajurit Wirasaba yang mengiringi kedua dewi tersebut dan langsung
mengejar panji laras-liris. Sedangkan prajurit dari Lamongan juga merasa
harus melindungi kedua pemuda tersebut sehingga terjadilah babad
(perang). “Dalam babad itu panji laras-liris tewas begitu juga dengan
patih Mbah Sabilan. Lokasi tempat perang itu saat ini bernama Desa
Babadan di pinggir Kali Lamong Kecamatan Mantup,” ungkap Yari.
Jenasah Mbah Sabilan kemudian dimakamkan di Kelurahan Tumenggungan
Kota Lamongan, sedangkan jenasah panji Laras Liris tidak diketahui. Nama
Panji Laras Liris dan Dewi Andansari serta Andanwangi saat ini menjadi
nama sebuah jalan di Kota Lamongan.
Suyari menambahkan, dari peristiwa itu Mbah Sabilan maupun Panji
Laras Liris dinilai meninggal dunia ketika sedang berjuang untuk syiar
Islam, karena mereka sedang berupaya mengislamkan warga Wirasaba melalui
Dewi Andansari dan Andanwangi. “Dari riwayat itu juga diduga kuat
munculnya tradisi pihak perempuan yang meminang laki-laki di Lamongan,”
ujar Yari.
LAMBANG DAERAH KABUPATEN LAMONGAN
Lambang daerah Kabupaten Dati II Lamongan berbentuk segi lima sama
sisi, dasar warna biru laut, dengan garis tepi warna hitam dan putih.
Isi lambang terdiri sebuah genuk dan dibawahnya ada pita bertulisan
Lamongan, kiri dan seuntai kapas 8 butir warna putih hijau, kanan ada
seuntai padi kuning 17 butir. Dalam genuk ada sebuah gunung, sebuah
keris, seekor ikan lele, seekor ikan bandeng, tlundak kuning, air beriak
warna biru dan sebuah bintang kuning bersudut lima dipojok atas
segilima.
Makna Lambang
Arti atau makna lambang daerah kabupaten Dati II Lamongan adalah merupakan cerminan hal-hal sbb :
a. Segi lima sama sisi dan tlundak bertingkat lima mengisyaratkan dasar negara Pancasila dalam negara Republik Indonesia.
b. Bintang memancarkan sinar lambang ketuhanan yang maha esa, bahwa masyarakat lamongan hidup agamis.
c. Keris melambangkan kewaspadaan dan latar belakang sejarah kuno yang panjang.
d. Bukit atau pegunungan tak berapi lambang potensi daerah berpegunungan kapur berhutan tropis mengandung bahan pembangunan.
e. Ikan lele lambang sikap hidup yang ulet, tahan menderita, sabar,
namun bila diganggu ia berani menyerang dengan taju (patel) yang ampuh.
f. Ikan bandeng lambang potensi komoditi perikanan darat dan laut yang mengandung harapan dimasa depan.
g. Air berteriak dalam genuk (temapayan) lambang bahwa air selalu
menjadi masalah terlalu banyak di musim penghujan dan terlalu sedikit
dimusim kemarau.
h. Genuk tempat air bersih lambang kawasan lamongan memiliki sejarah kuno yang panjang.
i. Padi dan kapas lambang kemakmuran rakyat dan hasil pertanian daerah untuk kecukupan sandang pangan secara mandiri.
Soto Lamongan
07 Agustus 2009 9:58
Soto Lamongan salah satu makanan khas dari Lamongan yang juga terkenal. Biasanya
Kemepyar — demikan komentar orang Yogya usai menikmati makanan
berkuah panas, seperti soto lamongan ini. Soto yang diracik warga asli
Lamongan ini rasanya khas, apalagi potongan daging sapinya lumayan tebal
dan banyak. Selain membuat perut kenyang, juga badan serasa kemepyar
alias bergairah lagi.
(mycityblogging.com)
Bahannya dari daging ayam, kaki, dan jeroan ( Ati dan Rempela ).
Bumbunya: Kunir, Jinten , Ketumbar , Laos , Bawang Merah , Bawang Putih ,
Sere, Daun Purut , Kemiri , merica, kecap asin, micin, dan garam,
jangan lupa pula ditambahkan ikan bandeng yang direbus bersama bumbu
tersebut sampai hancur(durinya disingkirkan terlebih dahulu).
Untuk pelengkapnya Suun , Telor, Sladri , Poyah ( Krupuk Udang dan
bawang putih goreng) , lombok (cabe,kemiri,garam). cara menyajikan
dengan nasi putih.
Nasi Boran, Salah Satu Khas Lamongan Selain Soto
07 Agustus 2009 11:05
Nasi boranan atau orang Lamongan menyebut sego boranan, adalah
makanan tradisional dan khas daerah kita tercinta, Lamongan. Nasi
boranan adalah salah satu dari makanan khas sekaligus yang paling khas
karena memang hanya dijual di Lamongan. Nasi ini disajikan biasa
dijajakan secara lesehan di sekotar kawasan pasar-pasar kota di
Kabupaten Lamongan.
Nasi boranan, terdiri dari nasi, bumbu, lauk, rempeyek yaitu
sejenis krupuk bahan bakunya dari tepung beras yang dibumbui dan
digoreng. Bumbu dari nasi boranan terdiri dari rempah-rempah yang sudah
di haluskan, serta lauk yang ditawarkan oleh penjual bervariasi,
diantaranya daging ayam, jeroan, ikan bandeng, telur dadar, telur asin,
tahu, tempe hingga ikan sili yang lebih mahal bila dibandingkan dengan
lauk-lauk lainnya.
Seorang pedagang nasi boranan yang biasa mangkal di depan Balai
Pengobatan Muhamadiyah Lamongan biasa dipanggil Yu Tin sudah berdagang
selama 10 tahun, dia berkata bahwa sesuatu yang membuat nasi boran
terkenal dan khas adalah tempat nasinya yang bernama boran. boran ini
terbuat dari bambu yang dianyam menyerupai bentuk kubus. lauk yang
terdapat di nasi boran antara lain : bandeng, ayam, sili, dadar, telur
asin, dan lain-lain. Namun, lauk yang asli dari dulu adalah ikan sili.
Para pedagang nai boran biasanya berjualan dari mulai pukul subuh
sampai sekitar pukul sepuluh pagi. Tapi, ada juga pedagang nasi boran
yang berjualan hingga malam menjelang.
0 komentar:
Posting Komentar